Rabu, 16 Oktober 2013

KERAJAAN BANTEN DAN CIREBON


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Dalam sejarah Indonesia ada dua kerajaan islam sebagai penonggak sejarah ajaran islam di daerah pulau jawa, yaitu kerajaan Demak sebagai penguasa saat itu dan kerajaan Cirebon serta kerajaan Banten sebagai pembantu untuk menyebarkan ajaran-ajaran islam didaerah jawa bagian barat, atau tanah pasundan.
Banyak misteri tentang kerajaan Cirebon yang awalnya didirikan oleh Syarif Hidayatulloh, dimana beliau adalah putra dari Nyai Rara Santang dan tidak salah lagi bahwa beliau adalah keturuan dari Prabu Siliwangi penguasa tanah pasundan pada massanya yang tidak mau memeluk agama islam dan lebih mengalah kepada anaknya dengan memberikan sebagian wilayah kekuasaan di daerah Cirebon untuk didirikan pusat – pusat ajaran islam. Banten sebagai penguasa di daerah selat sunda adalah sebuah kerajaan yang sudah memliki hubungan diplomatik dengan kerajaan Cirebon. Namun karena masuknya VOC ke Indonesia pada saat itu membuat dua kerajaan ini musnah dan lenyap di telan zaman.
Adapun penulisan dan penyusunan makalah kerajaan Cirebon serta Banten ini merupakan suatu tugas yang diberikan secara berkelompok, semoga dengan makalah ini dapat membantu untuk sedikit memahami mengenai kerajaan Cirebon serta Banten, dan besar harapan kami akan adanya suatu kritik yang membangun yang dapat membantu meningkatkan lagi khazanah keilmuan kami.

1.2  Tujuan Penulisan

a.       Untuk mengetahui mengenai sejarah dari Kerajaan Cirebon dan Banten
b.      Untuk mengetahui sistem pemerintahan Kerajaan Cirebon dan Banten
c.       Untuk mengetahui sebab runtuhnya kerajaan Cirebon dan Banten


BAB II
PEMBAHASAN

2.1             KERAJAAN CIREBON
2.1.1         Sejarah Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon merupakan bagian dari administratif Jawa Barat. Cirebon sendiri mempunyai arti seperti di daerah-daerah lainnya. Cirebon berasal dari bahasa sunda “ci” yang berarti air, sedangkan “rebon” berarti udang. Cirebon mempunyai arti sungai udang atau kota udang. Cirebon didirikan pada 1 Sura 1445 M, oleh Pangeran Cakrabuana. Pada tahun 1479 M Pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon yang bertempat di kraton Pakungwati Cirebon menyerahkan kekuasaannya pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah seorang menantu Pangeran Cakrabuana dari ibu Ratu Mas Rara santang. Sejak inilah Cirebon menjadi negara merdeka dan bercorak Islam.
Sebelum berdirinya kekuasaan politik Islam di bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati wilayah Cirebon dibagi menjadi dua daerah, pesisir dan pedalaman. Daerah pesisir dipimpin oleh Ki Gendeng Jumajan Jati, sedangkan wilayah pedalaman dipimpin oleh Ki Gendeng Kasmaya. Keduanya adalah saudara Prabu Anggalarung dari Galuh. Sunan Gunung Jati kemudian menikah dengan Ratu Mas Pakungwati dari Cirebon pada tahun 1479 dan pada tahun itu juga di bangun Istana Pakungwati atau keraton Kasepuhan[1]
Putra Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Pasarean pada tahun 1528 diangkat sebagai pemangku kekuasaan di Cirebon. Sebelum sempat menggantikan ayahnya, Pangeran Pasarean wafat pada tahun 1552. Sunan Gunung Jati kemudian mengangkat Aria Kemuning menjadi sultan Cirebon. Aria Kemuning adalah anak angkat dari Sunan Gunung Jati. Aria Kemuning atau julukannya Dipati Carbon 1 menjabat sebagai sultan Cirebon kurang lebih 12 tahun, yaitu sejak 1553-1565.

2.1.2        Berkembangnya Ajaran Islam di Kerajaan Cirebon

2.1.2.1  Perkembangan Islam pada Masa Syekh Idlofi Mahdi
Menurut Tome Pires, seorang musyafir dari negeri Portugis pendapat Islam masuk ke Kerajaan Cirebon pada tahun 1470-1475. Pada tahun 1420 M, datang serombongan pedagang dari Baghdad yang dipimpin oleh Syekh Idlofi Mahdi, ia tinggal di dalam perkampungan Muara Jati dengan alasan untuk memperlancar barang dagangannya. Syekh Idlofi Mahdi memulai kegiatannya selain berdagang dia juga berdakwah dengan mengajak penduduk serta teman-temannya untuk mengenal serta memahami ajaran Islam. Pusat penyebarannya brada di Gunung Jati. Syekh Idlofi Mahdi menyebarkan agama Islam dengan cara bijaksana dan penuh hikmah.
Sebelum masuknya Islam ke pulau jawa pada umumnya dan kerajaan Cirebon khususnya, situasi masyarakat di pengaruhi sistem kasta pada ajaran agama Hindu kehidupan masyarakatnya jadi bertingkat-tingkat. Mereka yang mempunyai kasta lebih tinggi tidak dapat bergaul dengan dengan kasta yang lebih rendah atau pergaulan diantara mereka dibatasi. Setelah ajaran Islam disebarkan oleh  Syekh Idlofi Mahdi, susunan masyarakat berdasarkan kasta ini mulai terkikis dan dimulailah kehidupan masyarakat tanpa adanya perbedaan kasta[2]

2.1.2.2  Perkembangan Islam pada masa Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah.
Menurut semua sejarah lokal dari Cirebon termasuk cerita Purwaka Caruban Nagari, masuknya Islam di Cirebon pada abad 15 yaitu pada tahun 1470. Disebarkan oleh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Penyebaran agama Islam itu dimulai ketika Syarif Hidayatullah berusia 27 tahun yaitu dengan menjadi mubaliqh Cirebon. Di tahun 1479 Syarif Hidayatullah menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati, putri dari pangeran Cakrabuana. Pengganti pangeran Cakrabuana sebagai penguasa Cirebon di berikan pada Syarif Hidayatullah. Pada tahun pengangkatannya Syarif Hidayatullah mengembangkan daerah penyebarannya di wilayah Pajajaran.
Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke daerah Serang yang sebagian rakyatnya sudah mendengar tentang Islam dari pedagang-pedagang dari Arab dan Gujarat yang berlabuh di pelabuhan Banten. Syarif Hidayatullah mendapat sambutan hangat dari adipati Banten. Daerah-daerah yang telah diislamkan antara lain : Kuningan, Sindangkasih, Telaga, Luragung, Ukur, Cibalagung, Kluntung, Bantar, Indralaya, Batulayang, dan Timbangaten. Di wilayah Pejajaran Agama Islam berkembang pesat di negeri Caruban yang dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Demak kemudian menjalin persahabatan dengan Syarif Hidayatullah. Setelah mengenal Syarif Hidayatullah Raden Patah bersama-sama para mubaliqh yang sudah bergelar sunan menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Panata Gama Rasul di tanah Pasundan. Panata Gama Rasul artinya orang yang ditetapkan sebagai pemimpin penyiaran Agama Nabi Muhamad di tanah Jawa. Kemudian atas kesepakatan para sunan Syarif Hidayatullah di beri gelar Sunan Gunung Jati dan menjadi Sunan paling terakhir yaitu sunan ke-9 dari sunan 9 sunan lainnya.
Kerajaan-kerajaan yang berhasil ditaklukkan Sunan Gunung Jati diantaranya:
1.                            Talaga, sebuah kerajaan yang beragam Hindu yang terletak di sebelah barat daya Cirebon di bawah kekuasaan Prabu Kacukumun.
2.                            Rajagaluh, bekas pusat kerajaan Pajajaran yang beragama Hindu yang diperintah Prabu Cakraningrat. Prabu Cakraningrat tidak senang dengan kemajuan Cirebon dan persebaran agama Islam di Cirebon di tangan Sunan Gunung Jati. Akibatnya timbulah perang antara Cirebon dengan Rajagaluh, kemenangan berada di tangan Cirebon. Berakhirnya kekuasaan Rajagaluh sekaligus merupakan berakhirnya kekuasaan kerajaan Hindu di daerah Jawa Barat sebelah Timur.
Pada tahun 1498 para Walisongo yang diprakarsai oleh Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung Cirebon. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga dengan seorang arsitek Raden Sepat ( dari Majapahit bersama 200 orang pembantunya dari Demak ). Masjid ini juga disebut Sang Cipta Rasa karena terlahir dari rasa dan kepercayaan penduduk. Pada masa itu juga disebut dengan Masjid Pekungwati karena dulu masjid itu terletak dalam komplek keraton Pekungwati dan sekarang dalam komplek kasepuhan. Menurut cerita masjid itu dibangun dalam waktu semalam dan besok pada waktu subuh digunakan untuk Sholat Subuh. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati meninggal pada usia yang sangat lanjut yaitu 120 tahun, dia dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.[3]


2.1.3 Cirebon Sebagai Bandar Dagang
Letak Cirebon yang strategis yaitu di daerah pesisir pantai Utara pulau Jawa. Cirebon sebagai pusat pelabuhan berfungsi sebagai sumber pendapatan ekonomi dan sebagai keluar –masuknya barang-barang kebutuhan pada masyarakat pedesaan, dengan luar daerah, maupun dari negeri lain. Perdagangan ini melalui dua jalur yaitu jalur darat dan jalur laut. Jalur darat biasanya dengan alat transportasi darat seperti dengan berkuda atau mengendarai gajah. Jalurnya dari Banyumas menuju Tegal kemudian menuju Periangan. tiga wilayah pedalaman diandalkan sebagai penghasil bahan-bahan pertanian seperti sayur-mayur, buah-buahan, padi. Sedangkan barang dagangan yang dibawa dari luar daerah yaitu : logam, besi, emas, perak, sutera, dan keramik. Barang-barang tersebut biasanya berasal dari Cina.
Dalam transaksi perekonomian dan perdagangan Cina mempunyai peranan yang sangat besar karena barang-barang kebutuhan masyarakat dibawa oleh pedagang-pedagang dari Cina. Mereka memakai sistem barter yang dimaksud barter disini yaitu barter uang dengan mempergunakan mata uang. Perdagangan Cirebon mengalami kemunduran karena adanya monopoli perdagangan dari kompeni Belanda pada 30 April 1632.

2.1.4 Pelapisan Sosial Kerajaan Cirebon
Masyarakat Cirebon dibedakan berdasarkan kedudukan dan digolongkan menjadi 4 lapisan sosial :
1.                            Golongan Raja yang terdiri dari raja beserta keluarganya. Raja ditempatkan pada lapisan paling tinggi. Para raja atau sultan Cirebon merupakan golongan ningrat yang tinggal di lingkungan kerajaan atau istana. Raja menjalankan berbagai kebijaksanaan dan perintahnya. Hubungan antara raja, bangsawan, dan masyarakat sangat dibatasi.
2.                            Golongan Elite terdiri dari para bangsawan, priyayi, tentara, golongan Islam, dan pedagang-pedagang kaya. Patih menempati lapisan yang paling penting karena baik raja maupun pejabat-pejabat penting lainnya merasa tunduk dan patuh kepada keamanan sang patih[4].
3.                            Golongan non Elite. Golongan ini terdiri dari lapisan masyarakat kecil yang pada umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani, pedagang, tukang, nelayan, dan golongan masyarakat bawah. Golongan petani dan pedagang merupakan tulang punggung bagi perekonomian kerajaan. Prajurit mempunyai tugas cukup berat yaitu ikut dalam peperangan.
4.                            Golongan Budak[5]. Golongan ini terdiri dari buruh, para budak, dan pekerja kasar. Mereka adalah orang-orang yang bekerja berat secara fisik menjual tenaga badaniyah atau mengerjakan pekerjaan kasar. Golongan ini tidak hanya laki-laki saja tetapi juga wanita kadang anak-anak di bawah umur. Walaupun budak menempati posisi paling bawah tetapi mereka dibutuhkan oleh raja untuk melayani kepentingan-kepentingannya.

2.1.5         Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Pangeran Wangsakerta yang bertanggung jawab atas pemerintahan di Cirebon selama ayahnya tidak berada di tempat,khawatir atas nasib kedua kakaknya. Kemudian ia pergi ke Banten untuk meminta bantuan Sultan Ageng Tirtayasa (anak dari Pangeran Abu Maali yang tewas dalam Perang Pagarage), beliau mengiyakan permohonan tersebut karena melihat peluang untuk memperbaiki hubungan diplomatic Banten-Cirebon. Dengan bantuan Pemberontak Trunojoyo yang disupport oleh Sultan Ageng Tirtayasa,kedua Pangeran tersebut berhasil diselamatkan. Namun rupanya, Sultan Ageng Tirtayasa melihat ada keuntungan lain dari bantuannya pada kerabatnya di Cirebon itu, maka ia mengangkat kedua Pangeran yang ia selamatkan sebagai Sultan,Pangeran Mertawijaya sebagai Sultan Kasepuhan & Pangeran Kertawijaya sebagai Sultan Kanoman,sedangkan Pangeran Wangsakerta yang telah bekerja keras selama 10 tahun lebih hanya diberi jabatan kecil, taktik pecah belah ini dilakukan untuk mencegah agar Cirebon tidak beraliansi lagi dengan Mataram.

1.                            Perpecahan I (1677)
Pembagian pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
a.       Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
b.      Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
c.       Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan (paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan itu sebagai pejabat sementara.
2.                            Perpecahan II (1807
Sukses para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan. Kehendak Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).

2.1.6                Runtuhnya Kerajaan Cirebon

1.      Kerajaan Cirebon terbagi menjadi 3 kesultanan yaitu, Keraton Kasepuhan dipegang oleh Sultan Sepuh, Keraton Kanoman dipegang oleh Sultan Anom, Keraton Karicebonan dipegang oleh Panembahan Karicebonan. Mereka hanya mengurusi kerajaan masing-masing. Mengakibatkan kerajaan Cirebon perlahan-lahan mulai hancur.
2.      Setelah Sultan Panembahan Gerilya wafat pada tahun 1702, terjadi perebutan kekuasaan diantara kedua putranya, yaitu antara Pangeran Marta Wijaya dan Pangeran Wangsakerta. Di samping itu adanya campur tangan VOC yang mengadu domba mereka membuat persaudaraan mereka menjadi permusuhan.

2.2    KERAJAAN BANTEN

2.2.1 Awal Terbentuknya Kerajaan Banten
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana, Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri.
Sebelum kerajaan Islam berkuasa di Banten, ketika masih berada di bawah kekuasaan raja-raja Sunda (dari Pajajaran, atau mungkin sebelumnya), Banten sudah menjadi kota yang berarti. Dalam tulisan Sunda Kuno, cerita Parahyangan, disebutkan nama Wahanten Girang. Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan di ujung barat pantai utara Jawa. Pada tahun 1524 atau 1525, Sunan Gunung Jati dari Cirebon, meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan islam serta perdangangan orang-orang islam di sana.
Menurut sumber tradisional, penguasa Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung Jati dengan ramah-tamah dan tertarik masuk islam. Penguasa itu membukakan jalan seluas-luasnya bagi kegiatan pengislaman di Banten. Dengan segera ia menjadi orang yang berkuasa atas kota itu dengan bantuan tentara Jawa yang memang dimintanya. Namun, meurut berita Barros, penyebaran Islam di Jawa Barat tidak melalui jalan damai, sebagaimana disebut oleh sumber tradisional. Beberapa pengislaman mungkin terjadi secara sukarela, tetapi kekuasaan tidak diperoleh kecuali dengan menggunakan kekerasan. Banten, dikatakan justru diserang dengan tiba-tiba.[6]
Untuk menyebarkan Islam di Jawa Barat, langkah Sunan Gunung Jati berikutnya adalah menduduki pelabuhan Sunda yang sudah tua, kira-kira tahun 1527. Ia memperluas kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan lain di Jawa Barat yang semula di bawah kekuasaan di Pajajaran.
Setelah ia kembali ke Cirebon, kekuasaannya atas Banten diserahkan kepada puteranya, Hasanuddin. Hasanuddin sendiri menikah dengan puteri Demak dan diresmikan menjadi Panembahan Banten tahun 1552. Ia meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam memperluas daerah Islam, yaitu ke Lampung dan daerah sekitarnya di Sumatera Selatan.
Pada tahun 1568,  di saat kekuasaan Demak beralih ke Pajang. Hasanuddin memerdekakan Banten. Itulah sebabnya dalam sumber-sumber sejarah yang menceritakan kelahiran Banten ia dianggap sebagai raja Islam yang pertama di Banten. Banten sejak semula memang merupakan vassal dari Demak. Hasanuddin mangkat kira-kira tahun 1570 dan digantikan oleh anaknya, Yusuf. Setelah sembilan tahun memegang tampuk kekuasaan, pada tahun 1579 Yusuf menaklukkan Pakuwan yang belum menganut Islam dan waktu itu masih menguasai sebagian besar daerah pedalaman Jawa Barat. Sesudah ibu kota kerajaan itu jatuh dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Walaupun telah memeluk Islam, mereka diperbolehkan tetap memakai pangkat dan gelar yang disandang sebelumnya.
Setelah Yusuf meninggal dunia tahun 1580 M, ia digantikan oleh putranya Muhammad, yang masih muda belia. Selama Sultan Muhammad masih di bawah umur, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh kali (Arab: qadhi, jaksa agung) bersama empat pembesar lainnya. Raja Banten yang saleh ini melanjutkan serangan terhadap raja Palembang dan gugur dalam usia 25 tahun pada 1596. Ia meninggalkan seorang anak yang baru berusia 5 bulan, Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir.
Sebelum memegang pemerintahan secara langsung, Sultan berturut-turut berada di bawah 4 orang wali laki-laki dan seorang wali wanita. Ia baru aktif memegang kekuasaan tahun 1626, dan pada tahun 1638 mendapat gelar Sultan dari Mekah. Dialah raja Banten pertama dengan gelar sultan yang sebenarnya. Ia meninggal tahun 1651 dan digantikan oleh cucunya Sultan Abulfath Abdulfath. Pada masa Sultan Abulfath Abdulfath ini terjadi beberapa kali peperangan antara Banten dan VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659 M.

2.2.2         Letak Kerajaan
Dasar-dasar Kerajaan Banten diletakkan oleh Hasanuddin (putra Fatahillah) dan mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Perkembangan Kerajaan Banten yang demikian pesat, tidak lepas dari posisi dan letaknya yang strategis di sekitar Selat Sunda.
Secara geografis, Kerajaan Banten terletak di daerah Jawa Barat bagian utara. Kerajaan Banten menjadi penguasa jalur pelayaran dan perdagangan yang melalui Selat Sunda. Dengan posisi yang strategis Kerajaan Banten berkembang menjadi sebuah kerajaan besar di Jawa Barat dan bahkan menjadi saingan berat VOC (Belanda) yang berkedudukan di Batavia.[7]

2.2.3         Puncak Kejayaan
Kesultanan Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.[8]
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
2.2.4         Penghapusan Kesultanan
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810, memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Kesultanan Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.

2.2.5         Kehidupan Politik
Berkembangnya Kerajaan Banten, tidak dapat dipisahkan dari peranan raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Banten.   Raja Hasanuddin Setelah Banten di islamkan oleh Fatahillah, daerah Banten   diserahkan kepada putranya yang bernama Hasanuddin. la memerintah Banten dari tahun 1552-1570 M. Dengan meletakkan dasar-dasar pemerintahan, Kerajaan Banten dan mengangkat dirinya sebagai raja pertama. Pada masa pemerintahannya, agama Islam dan kekuasaan Kerajaan Banten berkembang cukup pesat.[9]
Raja Hasanuddin, juga memperluas wilayah kekuasaannya ke Lampung. Dengan menduduki daerah Lampung, Kerajaan Banten merupakan penguasa tunggal jalur lalu lintas pelayaran-perdagangan Selat Sunda, sehingga Kerajaan Banten. Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Ageng setiap pedagang yang melewati Selat Tirtayasa. Letak Kerajaan Banten sangat strategis karena berada Sunda diwajibkan untuk melakukan   di Selat Sunda yang bertambah ramai setelah dikuasainya Selat kegiatannya di Bandar Banten.
Raja Hasanuddin kawin dengan putri Raja Indrapura. Bahkan Raja Indra-pura menyerahkan tanahSelebar yang banyak menghasilkan lada kepadanya. Di bawah pemerintahan Raja Hasanuddin, Kerajaan Banten banyak di-kunjungi oleh saudagar-saudagar dari Gujarat, Persia, Cina, Turki, Pegu (Burma Selatan), dan Keling.
Panembahan Yusuf Setelah Raja Hasanuddin wafat tahun 1570 M, putranya yang bergelar Panembahan Yusuf menjadi raja Banten berikutnya. la berupaya untuk memajukan pertanian dan pengairan. la juga berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaan kerajaannya. Langkah-langkah yang ditempuhnya antara lain, merebut Pakuan pada tahun 1579 M. Dalam pertempuran tersebut, raja Pakuan yang bernama Prabu Sedah tewas. Kerajaan Pajajaran yang merupakan benteng terakhir Kerajaan Hindu di Jawa Barat berhasil dikuasainya. Setelah 10 tahun memerintah, Panembahan Yusuf wafat akibat sakit keras yang dideritanya.
Maulana Muhammad Ketika Panembahan Yusuf sedang sakit, saudaranya yang bernama Pangeran Jepara datang ke Banten. Ternyata Pangeran Jepara yang dididik oleh Ratu Kali Nyamat ingin menduduki Kerajaan Banten. Tetapi mangkubumi Kerajaan Banten dan pejabat-pejabat lainnya tidak menyetujuinya. Mereka mengangkat putra Panembahan Yusuf yang baru berumur sembilan tahun bernama Maulana Muhammad menjadi raja Banten dengan gelar Kanjeng Ratu Banten. Mangkubumi menjadi wali raja. Mangkubumi menjalankan seluruh aktivitas pemerintahan kerajaan sampai rajanya siap untuk memerintah.
Pada tahun 1596 M Kanjeng Ratu Banten memimpin pasukan Kerajaan Banten untuk menyerang Palembang. Tujuannya untuk menduduki bandar-bandar dagang yang terletak di tepi Selat Malaka agar bisa dijadikan tempat untuk mengumpulkan lada dan hasil bumi lainnya dari Sumatera. Palembang akan dikuasainya, tetapi tidak berhasil, malah Kanjeng Ratu Banten tertembak dan akhirnya wafat. Tahta kerajaan kemudian berpindah kepada putranya yang baru berumur lima bulan yang bernama Abu'Mufakir.
Abu'Mufakir Abu'Mufakir dibantu oleh wali kerajaan yang bernama Jayanegara. Akan tetapi, ia sangat dipengaruhi oleh pengasuh pangeran yang bernama Nyai Emban Rangkung.
Pada tahun 1596 M itu juga untuk pertama kalinya orang Belanda tiba di Indonesia di bawah pimpinan Comelis de Houtman. Mereka berlabuh di pelabuhan Banten. Tujuan awal mereka datang ke Indonesia adalah untuk membeli rempah-rempah.
Sultan Ageng Tirtayasa Setelah wafat, Abul Mufakir digantikan oleh putranya dengan gelar Sultan Abu Ma'ali Ahmad Rahmatullah. Akan tetapi berita tentang pemerintahan sultan ini tidak dapat diketahui dengan jelas. Setelah Sultan Abu  Ma'ali wafat, ia digantikan oleh putranya yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa. Ia memerintah Banten dari tahun 1651-1692 M.
Di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Kerajaan Banten mencapai masa kejayaan. Sultan Ageng Tirtayasa berupaya memperluas ke­rajaannya dan mengusir Belanda dari Batavia. Banten mendukung perlawan-an Kerajaan Mataram terhadap Belanda di Batavia. Kegagalan Kerajaan Mataram tidak mengurangi semangat Sultan Ageng untuk mencapai cita-citanya.
Sultan Ageng Tirtayasa memajukan aktivitas perdagangan agar dapat bersaing dengan Belanda di Batavia. Di samping itu. Sultan Ageng Tirtayasa memerintahkan kepada pasukan Kerajaan Banten untuk mengadakan perampokan terhadap Belanda di Batavia, sedangkan perkebunan tebu milik Belanda di sebelah barat Ciangke dirusak oleh orang-orang Banten. Gerakan yang dilakukan oleh orang-orang Banten atas perintah Sultan Ageng Tirtayasa membuat Belanda kewalahan menghadapinya.
Pada tahun 1671 M Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota menjadi raja pembantu dengan gelar Sultan Abdul Kahar. Sejak saat itu Sultan Ageng Tirtayasa beristirahat di Tirtayasa/ tetapi ia tidak melepaskan pemerintahan seluruhnya. Pada tahun 1674 M, Sultan Abdul Kahar berangkat ke Mekkah dan setelah mengunjungi Turki ia kembali ke Banten (1676 M). Sejak saat itu ia lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji.Ketika memerintah Kerajaan Banten, Sultan Haji menjalin hubungan baik dengan Belanda. Ternyata hubungan ini dijadikan kesempatan yang bagus oleh Belanda untuk memasuki Kerajaan Banten. Melihat terjalinnya hubungan antara Sultan Haji dengan Belanda, Sultan Ageng Tirtayasa menarik kembali tahta kerajaan dari tangan Sultan Haji. Namun Sultan Haji tetap mempertahankan tahta kerajaannya, sehingga terjadi perang saudara di Kerajaan Banten antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putranya Sultan Haji yang mendapat bantuan Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap dan dipenjarakan di Batavia hingga wafat tahun 1692 M.
Kemenangan Sultan Haji merupakan kehancuran Kerajaan Banten, karena selanjutnya Kerajaan Banten berada di bawah pengawasan pihak Belanda. Dengan demikian. Sultan Haji hanyalah sebagai lambang belaka (raja boneka) dalam pemerintahan Kerajaan Banten, karena seluruh kekuasaan diatur oleh Belanda.
2.2.6    Perekonomian
Dalam meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.
Pada masa Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina pada tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.
Tak dapat dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.
2.2.7    Pemerintahan
Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada masyarakat Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara.
Pusat pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan menara berbentuk mercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.
Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala. Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten, pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.
2.2.8    Runtuhnya Kerajaan Banten
Hasanuddin berhasil dikalahkan oleh Belanda sehingga harus menandatangani sebuah perjanjian. Isinya antara lain adalah kerajaan banten harus dibagi menjadi 4 kerajaan kecil, yaitu kerajaan cirebon, dan lain-lain. Karena menjadi kerajaan kecil maka di banten sering terjadi perang saudara sehingga kerajaan banten akhirnya runtuh.













BAB III
PENUTUP

            Islam masuk ke Cirebon pada abad 15, ajaran Islam ini dibawa Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) dan Syekh Idlofi Mahdi. Mereka menyebarkan agama Islam dengan berdakwah dan mendirikan pondok pesantren. Sunan Gunung Jati, mempunyai daerah penyebaran paling luas. Pada tahun 1498 Sunan Gunung Jati membangun Masjid Agung Cirebon dan dibantu oleh kedelapan para wali. Pada tahun 1568 Sunan Gunung Jati wafat dan beliau dimakamkan di pertamanan Gunung Jati.
               Cirebon mulai mengalami kehancuran ketika Cirebon dibagi menjadi 3 Kesultanan, Yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Kerato Kacirebonan. Sehingga kerajaan Cirebon menjadi terpecah-pecah. Disamping itu adanya perebutan kekuasaan sepeninggal Panembahan Gerilya pada tahun 1702. Adanya  campur tangan VOC dalam kerajaan yang mengadu domba mereka juga menjadi penyebab hancurnya kerejaan Cirebon.
Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam.
Hasanuddin berhasil dikalahkan oleh Belanda sehingga harus menandatangani sebuah perjanjian. Isinya antara lain adalah kerajaan banten harus dibagi menjadi 4 kerajaan kecil, yaitu kerajaan cirebon, dan lain-lain. Karena menjadi kerajaan kecil maka di banten sering terjadi perang saudara sehingga kerajaan banten akhirnya runtuh.








DAFTAR PUSTAKA

Kosoh, dkk. Sejarah daerah Jawa Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1994.

Kartodirjo, Sartono.     Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900 dari Emporium sampai Imporium, Jilid 1. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.

Bockani, Sanggupri, dkk.          Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. CV. Sukorejo Bersinar, Jakarta, 2001.

PS. Sulendraningrat.     Sejarah Cirebon. PN Balai Pustaka, Jakarta, 1985.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia III. Depdikbud, 1982.

http://wandi.guru-indonesia.net/artikel_detail-35772.html

Rating: 4.5 out of 5

1 komentar:

Unknown

Tidak sesuai dengan yang saya cari

Posting Komentar

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright © 2012. ACHMAD FAUZI - All Rights Reserved Template IdTester by Blog Bamz