Rabu, 16 Oktober 2013

PENGARUH POLITIK ETIS TERHADAP PENDIDIKAN DI INDONESIA (1901)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang masalah
Berbicara masalah pendidikan tentu kita akan melihat kenyataan sekarang bahwa pendidikan di Indonesia sekarang sedang mengalami sebuah proses untuk menjadi lebih baik lagi. Kita dapat melihat dari beberapa kali pergantian kurikulum yang terjadi di Indonesia.
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri sesorang tiga aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Dalam upaya untuk mengembangkan tiga hal tersebut dapat dilakukan di sekolah, luar sekolah atau masyarakat dan keluarga. Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan tersebut, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau enculturation, suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam suatu budaya tertentu.
Pendidikan yang mendapat pengaruh dari penjajah terlama tersebut atau negeri Belanda tentu sangat besar atau kentara. Maka berdasarkan latarbelakang tersebut tentu kita akan timbul pertanyaan, seperti apakah pendidikan yang dilakukan atau diterapkan oleh pemerintah colonial Belanda di “Indonesia”. Tetapi dalam hal ini kami penulis hanya akan membatasi pembahasan dalam temporal Indonesia pada masa colonial Belanda menerapkan Politik Etis atau politik balas budi. Bagaiamanakah perkembangan bidang pendidikan terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah belanda tersebut dalam bidang pendidikan, apakah membawa dampak perubahan yang sangat berarti atau hanya sekedar “lewat”, bagaimana perkembangan pendidikan pada masa politik etis tersebut. Berdasarkan itulah penulis merasa perlu untuk melakukan kajian terhadap kehidupan pendidikan pada masa politik etis.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Politik Etis dan Latar Belakangnya
Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa (Wikipedia)
Politik etis dalah suatu haluan politik baru yang berlaku di tanah jajahan Hindi Belanda sesudah tahun 1901, yakni setelah ratu belanda melontarkan suatu pernyataan bahwa “Negeri Belanda mempunyai suatu kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan otonomi penduduk pribumi” tujaun politik colonial baru ini adalah memperhatikan kemajuan dan perkembangan penduduk serta memeperhatikan pengolahan tanah. Dengan demikian secara teoretis “system eksploitasi diganti dengan system pengajaran yang maju”. Orientasi baru itu dikenal dengan namabermacam-macam seperti Ethis (etika), Politik kemakmuran atau politik asosiasi (Ensiklopedia Nasional Indonesia)
Politik kolonial baru itu bukanlah hadiah dari Ratu Belanda tetapi hasil pergolakan politik (dari kaum etis dan kaum asosiasi yang terjadi pada masa itu di negeri Belanda) pergolakan politik itu Nampak dalam petengahan abad ke-19 berupa perlawanan terhadap penerapan politik colonial konservatif di Hindia belanda. Politik konservatif yang bertujuan menerapkan eksploitasi tanah jajahan bagi Negara induk yang secara konsekuen diterapkan Indonesia itu berupa sistem tanam paksa atau Culturstelsel.
Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Politika yang meliputi:
1.      Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
2.      Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk transmigrasi
3.      Memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).

Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.
Kebijakan pertama dan kedua disalah gunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi bangsa Indonesia.
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya (Wikipedia)

B.     Pendidikan pada Masa Politik Etis
Berkaitan dengan “arah etis” (etische koers)  yang menjadi landasan idiil dari langkah-langkah dalam pendidikan di Hindia-Belanda, maka pemerintah mendasarkan kebijakanya pada pokok-pokok pikran sebagai berikut:
1.      Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk bumiputera, untuk itu bahasa Belanda diharapkan menjadi bahasa pengantar di Sekolah-sekolah.
2.      Pemberian pendidikan rendah bagi golongan bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

Atas dasar itu maka corak dan sistem pendidikan dan persekolahan di Hindia-Belanda pada abad ke-20 dapat ditempuh melalui dua jalur tersebut. Disatu pihak melalui jalur pertama diharapkan dapat terpenuhi kebutuhan ajan unsur dari lapisan atas serta tenaga terdidik bermutu didik bagi keperluan industry dan ekonomi, dan dilain pihak terpenuhi kebutuhan tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan (Ary H, Gunawan, 20).

Kesempatan Belajar
Pada masa ini keadaan social Belanda keadaan social sengaja dipelihara agar terbagi dalam golongan-golongan atau masyarakat yang hidup terkotak-kotak. Pembagian golongan social didasarkan pada keturunan, bangsa dan status.
1.      Pembagian penduduk menurut hukum pada tahun 1848
a.        Golongan Eropa
b.       Golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropa
c.       Golongan Bumiputera
d.      Golongan yang dipersamakan dengan Bumiputera
2.      Pembagian pada tahun 1920
a.        Golongan Eropa
b.      Golongan Bumiputera
c.       Golongan Timur Asing
3.      Pembagian penduduk menurut keturunan atau status social.
a.       Golongan bangsawan (Aristokrat) dan pemimpin adat.
b.      Pemimpin agama (ulama)
c.       Rakyat biasa/jelata (Ary H, Gunawan, 23)

C.    Dinamika dan Pengaruh Masa Politik Etis Pada Pendidikan
Tindakan-tindakan yang berakibat jauh dalam perkembangan masyarakat Indonesia adalah system  yang pendidikan yang diciptakan Belanda. System pendidikan ini mengakibatkan terciptanya suatu golongan baru dalam masyarakat, yang oleh seorang ahli sejarah dinamakan grup fungsional. Istilah ini tidaklah sama dengan golongan fungsional dalam system politik di Indonesia sekarang. Grup itu hanyalah suatu golongan yang terampil secara barat karena dididik dalam sekolah-sekolah menengah kejuruan dan menjalankan fungsi-fungsi baru yang diciptakan pada awal abad ke-20. Fungsi-fungsi baru yang dimaksud adalah fungsi sebagai pegawai negeri dalam kedinasan-kedinasan (seperti pendidikan, kesehatan bank kredit, kehutanan, dll) yang diciptakan untuk mengusahakan peningkatan kemakmuran penduduk.
Pada tahun 1882 sudah mulai diadakan sistematisasi dalam pendidikan yang berbeda-beda dari satu pulau ke pulau yang lainya. Pada waktu itu semua sekolah dasar dikelompokan menjadi dua macam saja. Sekolah dasar yang pertama dinamakan Eerste School (sekolah angkatan satu). Sekolah ini hanya menampung murid dari golongan priyayi dan hanya didirikan di ibukota karesidenan. Lama pendidikanya lima tahun, kurikulum meliputi membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, menggambar, ilmu alam, dan ilmu ukur tanah. Guru-gurunya diambil dari lulusan sekolah guru yang telah didirikan sebelumnya. Pada mulanya bahasa pengantarnya bahasa daerah, tetapi pada tahun 1897 diubah menjadi bahasa Belanda dan oleh karena itu lama pendidikan ditingkatkan menjadi enam tahun. Dengan adanya sekolah angka satu ini, semua sekolah raja yang didirikan sejak 1879 dihapus, kecuali yang di Magelang yang dijadikan sekolah kejaksaan.
Jenis sekolah yang didirikan pada tahun 1892 adalah Twede School (sekolah angka dua). Sistem sekolah ini ditujukan kepada rakyat pada umumnya di daerah pedesaan.  Lama pendidikan hanya tiga tahun, dan kurikulumnya hanya menulis, membaca dan berhitung. Bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah setempat atau bila tidak bahasa daerah, maka bahasa Melayu.
Tatkala politik etis dilancarkan timbul dua pendapat tentang cara meningkatkan sistem pendidikan dasar untuk penduduk. Pendapat pertama menyatakan bahwa sekolah angka dua tidak tepat dan harus digantikan dengan sekolah desa yang disesuaikan dengan situasi pedesaan. Pandangan yang lainya menyatakan bahwa sistem yang sudah ada adalah sudah baik, hanya jumlahnya yang perlu ditambah. Pada akhirnya pandangan pertamalah yang dilaksanakan karena berasal dari Gubernur Jenderal Van Heutz.
Sistem sekolah desa tersebut mulai dibangun pada tahun 1907. Sekolah ini didirikan di daerah pedesaan dan masyrakata desa diberi tanggung jawab dalam pembinaanya berupa pendirian dan dan pemeliharaan gedung sekolahnya. Pembinaanya tidak pada departemen pendidikan tetapi pada departemen dalam negeri (sampai tahun 1918). Lama sekolah dan kurikulum masih sama dengan sekolah angka dua, tetapi lebih disesuaikan pada lingkunganya. Sekolah angka dua masih dilaksanakan meskipun berangsur-angsur menghilang sampai dihapuskanya pada tahun 1929 (karena krisis ekonomi). Sekolah angka satupun belum mengalami perubahan yang berarti.
Pada tahun 1914 terjadi tiga hal yang sangat penting dalam system pendidikan rendah. Pertama pada tahun itu sekolah angka satu yang sejak tahun 1907 menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya diubah menjadi Hollands Inlandse School (HIS) yang berbahasa Belanda. Sekolah ini didrikan di ibu kota daerah dan dipergunakan oleh anak-anak priyayi tetapi tidak tertutup bagi golongan yang lainya. Kedua, pada tahun itu didirikan sekolah lanjutan yang dinamakan Meer Uitgebreid Lajer Onderwijs (MULO), untuk lulusan sekolah angka satu. Lama pendidikanya tiga tahun dan bahasa Belanda dipakai sebagai bahasa pengantar, tatapi kurikulumnya sama dengan HIS pendidikan tingkat lanjutan atas bagi penduduk kepulauan Indonesia adalah Algemeen Middelbare School, yang menerima lulusan MULO. AMS pertama didirikan di Yogya dengan kurikulum B (Pasti Alam), kemudian di Bandung dengan kurikulum A 1 (satra barat), dan A2 di Surabaya (sastra timur).
Selain itu pemerintahan hindia belanda yang beraliran etis itu pula mendirikan suatu sekolah kedokteran tingkat menengah pada tahun 1902 dengan nama School Tot Opleiding van Inlandse Artsen (STOVIA). Sekolah ini sebenarnya bukan ciptaan baru, tetapi merupakan penyempurnaan dari sistem pendidikan yang dimulai 1851 dengan nama sekolah dokter Jawa. Tujuanya adalah menciptakan tenaga-tenaga medis di pelbagai daerah, dan melaksanakanya di rumah sakit tentara Batavia. Lama pendidikanya mula-mula hanya dua tahun, tetapi pada tahun 1875 telah meningkat sampai lima tahun. Dengan ditingkatkanya system pendidikanya ini menjadi STOVIA pada tahun 1902, lulusanya pun di anggap sebagai dokter dengan gelar Indlandse Art.
Pendidikan STOVIA mula-mula diberikan dalam bahasa melayu dan murid-murid diharuskan menggunakan pakaian daerah. Kemudian bahasa Belanda digunakan sebagi bahasa pengantar, sehingga murid-murid harus mengikuti kursus bahasa selama satu tahun. Dengan demikian lama pendidikanya menjadi tujuh tahun. Calon-calonya berasal dari sekolah angka satu, yaitu golongan priyayi, karena waktu itu HIS belum ada. Murid-murid inilah yang mendirikan Budi Utomo pada tahun 1908 dan organisasi-organisasi pemuda lainya, seperti Jong Sumateranen Bond, Jong Ambon dan lain-lain.
Pada tahun 1914 STOVIA ditingkatkan lagi karena calon-calonya harus diambil dari lulusan MULO. Pada tahun itu pula di Surabaya didirikan sekolah sejenis dengan nama Nederlandse Indische Artsen School (NIAS) lulusan STOVIA dan NIAS sejak itu memakai gelar Inndische Art. Baru pada tahun 1927 pemerintah mendidrikan sekolah tinggi kedokteran (guneeskundige Hogeschool), GH  yang mengambil lulusan HBS dan AMS. Lulusanya memakai gelar Art, dan disamakan dengan universitas negeri Belanda.
Sekolah kejuruan lainya yang penting sekolah pegawai pamong praja. Mula-mula tenaga pamong praja dihasilkan di Hoofdenschool, yang pada tahun 1892 dihapus, kecuali di Magelang. Sekolah ini dikenal dengan nama Opleiding School voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA). Lama pendidikan lima tahun. Bahasa pengantarnya bahasa Belanda. Sekolah ini tidak saja terbuka bagi anak-anak golongan priyayi seperti Hoofdenschool, tetapi terbuka juga bagi anak-anak golongan biasa yang ingin memasuki dinans pamong praja. Sekalipun menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, sekolah ini masih tergolong sekolah dasar. Sekolah semacam ini kemudian didirikan juga di bandung, Madiun, magelang, Probolinggo, Blitar, Makassar dan Serang. Baru pada tahun 1929 sekolah sekolah ini ditingkatkan menjadi sejajar dengan sekolah menengah yang dinamkan dengan MOSVIA.
Untuk tenaga-tenaga kejaksaan dan pengadilan, pada tahun 1909 didirikan Rechtschool, yang juga menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada tahun 1924, ketika lulusan sekolah menengah sudah mulai banyak, didirikan sekolah hukum tingkat tinggi dengan nama Recht Hogeschool (RH). Sekolah ini menghasilkan hakim-hakim dan jaksa-jaksa yang lulusanya menggunakan gelar Mr. (singkatan dari Meester de Rechten) yang juga digunakan oleh lulusan-lusan di universitas di belanda.
Sekolah pertanian sudah didirikan pada sebelum abad ke-20 tetapi hanya untuk mencetak tenaga-tenaga rendahan. Pada tahun 1876 pernah didirikan Landbouw School (sekolah pertanian) yang juga dimasuki oleh putra-putra golongan priyayi. Tetapi sekolah ini ditutup pada tahun 1884. Baru pada tahun 1903 didirikan lagi sebuah Landbouw School di Bogor dengan taraf pendidikan tingkat rendah. Pada tahun 1911 sekolah ini ditingkatkan menjadi sekolah menengah, sementara itu sekolah tinggi pertanian belum ada.
Pendidikan pertukangan sudah mulai dicoba dari masa kemasa pada abad ke-19. Sebagian sekolah sekolah itu tidak berlangsung lama. Dalam awal abad ke-20 pendirian sekolah  ini dicoba lagi dan kali ini lebih berhasil. Sebuah sekolah teknik tingkat tinggi baru didirikan pada tahun 1920, dan inipun oleh golongan swasta. Pada tahun 1924  sekolah yang bernama Teckhnische Hogeschool (TH) itu diambil alih oleh pemerintah. Lulusanya berhak bergelar Insinyur (Ir) yang juga digunakan oleh lulusan-lulusan sekolah tinggi di Negeri Belanda (Ensiklopedi Nasional Indonesia)
Tetapi celakanya ialah mereka yang putus sekolah dipengajaran  lanjutan  (MULO dan menengah) uuga tetap tinggi jumlahnya, baik karena sebab-sebab finansial maupun persyaratan yang berat, yang memang didasarkan pada norma-norma tradisional Belanda yang harus dipenuhi para murid. Sementar itu ketika pada tahun 1920 dan tahun-tahun berikutnya dibangun pengajaran tinggi (sekolah tinggi teknik tahun 1920, sekolah tinggi hokum tahun 1924, sekolah tinggi kedokteran tahun 1927, fakultas sastra tahun1940), maka jumlah mahasiswa Indonesia terutama pada tahun-tahun permulaan, tidaklah besar. Tidak heran apabila orang memperhitungkan bahwa pada setiap seratus murid kelas satu dari sekolah-sekolah rendah barat, setelah akhir masa pendidikan yang resmi (tujuh tahun pengajaran rendah, enam tahun pengajaran menengah) hanya dua oaring saja yang siap memasuki pengajaran tinggi. Sisanya dengan atau tanpa ijazah lembaga pengajaran rendah, sementara itu putus sekolah (I. J. Brugmans, 187)
Lulusan lulusan sekolah inilah yang memainkan peranan penting dalam pergerkan nasional. Mula-mula yang tampil adalah murid-murid sekolah menengah (sekolah-sekolah kejuruan seperti STOVIA, OSVIA, dan sekolah pertanian). Berangsur-angsur mahasiswa sekolah tingggipun mengambil bagian. Lulusan-lulusan sekolah tinggi dan menengah itulah yang merupakan pendorong utama perkembangan bangsa Indonesia dan pergerakan emansispasi kemerdekaanya.
Walaupun begitu, hasil politik etis itupun masih jauh dari pa yang diharapkan oleh penduduk pribumi. Sungguh suatu ironi bahwa kemajuan pendidikan yang digembor-gemborkan Belanda mengjasilkan 90 % penduduk Indonesia yang masih buta huruf.
Pelaksanaan politik etis sesungguhnya tidak sepi dari kepentingan-kepentingan kaum modal, karena sebagian besar sumber keuangan daerah berasal dari onderneming-onderneming swasta. Onderneming menjadi raja tak bermahkota di daerah-daerah. Pendidikanpun disesuakan dengan kebutuhan penjajah akan kebutuhan tenaga-tenaga pegawai yang sedikit cakap.
Politik etis itu tidak lain dari bentuk imperialisme kebudayaan. Program edukasinya tak lain ialah pelaksanaan dari politik “asosiasi” seperti deterangkan sendiri dalam Twede Kamer pada tahun 1912 oleh Van Deventer yang natara lain menyatakan: “humanisme Barat” (maksudnya politik etis) telah memberi keuntungan besar, yaitu memungkinkan adanya asosiasi antara kebudayaan timur dan barat.
Politik asosiasi berarti politik penjajahan untuk menghilangkan jurang perbedaan antara penjajah dan rakyat jajahan dengan cara melenyapkan kebudayaan asli tanah jajahan untuk diganti dengan kebudayaan penjajah (Ensiklopedi Nasional Indonesia)
Ada 5 ciri pendidikan pada masa kolonial Belanda, yaitu :
1.      Sistem Dualisme
Dalam sistem ini diadakan garis pemisah antara sistem pendidikan untuk golongan Eropa dan sistem pendidikan untuk golongan bumi putera.
2.      Sistem Korkondansi
Sistem ini berarti bahwa pendidikan di daerah penjajah di arahkan atau disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di negeri Belanda.
3.      Sentralisasi
Kebijakan pendidikan di zaman kolonial diurus oleh sebuah Departemen Pengajaran.

4.      Menghambat Gerakan Nasional
Sistem pendidikan pada masa itu sangat selektif. Masyarakat bumi putera tidak dapat memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih tinggi.
5.      Perguruan swasta yang militant
Salah satu sekolah swasta yang sangat gigih menetang kekuasaan kolonial ialah sekolah-sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara










BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial.
Dari sekolah – sekolah ini tidak sedikit para anak – anak muda yang memiliki pengetahuan lebih mulai bertekad untuk membuat sebuah organisasi – organisai yang arahnya memunculkan ide – ide untuk membuat Indonesia merdeka, contohnya adalah banyak lulusan dari HIS, membuat organisasi Budi Utomo, Jong Ambon, dll.
















DAFTAR PUSTAKA

Tim Penyusun. 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 7, (Politik Etis). Jakarta: PT. Cipta Adi Pusaka.

Gunawan, H Ary.          . Kebijakan-Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Brugman, I.J.         . Politik Pengajaran….

Http:// Wikipedia.or.wiki/Politik-etis . (diunduh 19 September 2013, 10:43:15 WIB).

Rating: 4.5 out of 5

0 komentar:

Posting Komentar

◄ Posting Baru
 

Copyright © 2012. ACHMAD FAUZI - All Rights Reserved Template IdTester by Blog Bamz