BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang masalah
Berbicara masalah pendidikan tentu kita akan melihat
kenyataan sekarang bahwa pendidikan di Indonesia sekarang sedang mengalami
sebuah proses untuk menjadi lebih baik lagi. Kita dapat melihat dari beberapa
kali pergantian kurikulum yang terjadi di Indonesia.
Pendidikan dalam arti luas adalah proses yang berkaitan
dengan upaya untuk mengembangkan pada diri sesorang tiga aspek dalam
kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Dalam
upaya untuk mengembangkan tiga hal tersebut dapat dilakukan di sekolah, luar
sekolah atau masyarakat dan keluarga. Dengan mendasarkan pada konsep pendidikan
tersebut, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau
enculturation, suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam
suatu budaya tertentu.
Pendidikan yang mendapat pengaruh dari penjajah terlama
tersebut atau negeri Belanda tentu sangat besar atau kentara. Maka berdasarkan
latarbelakang tersebut tentu kita akan timbul pertanyaan, seperti apakah
pendidikan yang dilakukan atau diterapkan oleh pemerintah colonial Belanda di
“Indonesia”. Tetapi dalam hal ini kami penulis hanya akan membatasi pembahasan
dalam temporal Indonesia pada masa colonial Belanda menerapkan Politik Etis
atau politik balas budi. Bagaiamanakah perkembangan bidang pendidikan terkait
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah belanda tersebut dalam bidang
pendidikan, apakah membawa dampak perubahan yang sangat berarti atau hanya
sekedar “lewat”, bagaimana perkembangan pendidikan pada masa politik etis
tersebut. Berdasarkan itulah penulis merasa perlu untuk melakukan kajian
terhadap kehidupan pendidikan pada masa politik etis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Politik
Etis dan Latar Belakangnya
Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran
yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi
kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa (Wikipedia)
Politik etis dalah suatu haluan politik baru yang berlaku di
tanah jajahan Hindi Belanda sesudah tahun 1901, yakni setelah ratu belanda
melontarkan suatu pernyataan bahwa “Negeri Belanda mempunyai suatu kewajiban
untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan sosial dan otonomi penduduk
pribumi” tujaun politik colonial baru ini adalah memperhatikan kemajuan dan
perkembangan penduduk serta memeperhatikan pengolahan tanah. Dengan demikian
secara teoretis “system eksploitasi diganti dengan system pengajaran yang
maju”. Orientasi baru itu dikenal dengan namabermacam-macam seperti Ethis
(etika), Politik kemakmuran atau politik asosiasi (Ensiklopedia Nasional
Indonesia)
Politik kolonial baru itu bukanlah hadiah dari Ratu Belanda
tetapi hasil pergolakan politik (dari kaum etis dan kaum asosiasi yang terjadi
pada masa itu di negeri Belanda) pergolakan politik itu Nampak dalam petengahan
abad ke-19 berupa perlawanan terhadap penerapan politik colonial konservatif di
Hindia belanda. Politik konservatif yang bertujuan menerapkan eksploitasi tanah
jajahan bagi Negara induk yang secara konsekuen diterapkan Indonesia itu berupa
sistem tanam paksa atau Culturstelsel.
Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk
lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan
Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang
budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina
menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum
dalam program Trias Politika yang meliputi:
1. Irigasi (pengairan), membangun dan
memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
2. Emigrasi yakni mengajak penduduk
untuk transmigrasi
3. Memperluas dalam bidang pengajaran
dan pendidikan (edukasi).
Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda
ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa
waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus
politik etis ini.
Kebijakan pertama dan kedua disalah gunakan oleh Pemerintah
Belanda dengan membangun irigasi untuk perkebunan-perkebunan Belanda dan
emigrasi dilakukan dengan memindahkan penduduk ke daerah perkebunan Belanda
untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi
bangsa Indonesia.
Pengaruh politik etis dalam bidang pengajaran dan pendidikan
sangat berperan sekali dalam pengembangan dan perluasan dunia pendidikan dan
pengajaran di Hindia Belanda. Salah seorang dari kelompok etis
yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan selama lima
tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik
untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Sementara itu, dalam masyarakat telah terjadi semacam
pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan
pendukung politik etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan
diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan tersebut, mereka berusaha
menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari belenggu feodal dan
mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan
menuntut pendidikan ke arah swadaya (Wikipedia)
B.
Pendidikan
pada Masa Politik Etis
Berkaitan dengan “arah etis” (etische koers) yang
menjadi landasan idiil dari langkah-langkah dalam pendidikan di Hindia-Belanda,
maka pemerintah mendasarkan kebijakanya pada pokok-pokok pikran sebagai
berikut:
1. Pendidikan dan pengetahuan Barat
diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk bumiputera, untuk itu bahasa
Belanda diharapkan menjadi bahasa pengantar di Sekolah-sekolah.
2. Pemberian pendidikan rendah bagi
golongan bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Atas dasar itu maka corak dan sistem pendidikan dan
persekolahan di Hindia-Belanda pada abad ke-20 dapat ditempuh melalui dua jalur
tersebut. Disatu pihak melalui jalur pertama diharapkan dapat terpenuhi
kebutuhan ajan unsur dari lapisan atas serta tenaga terdidik bermutu didik bagi
keperluan industry dan ekonomi, dan dilain pihak terpenuhi kebutuhan tenaga
menengah dan rendah yang berpendidikan (Ary H, Gunawan, 20).
Kesempatan Belajar
Pada masa ini keadaan social Belanda keadaan social sengaja
dipelihara agar terbagi dalam golongan-golongan atau masyarakat yang hidup
terkotak-kotak. Pembagian golongan social didasarkan pada keturunan, bangsa dan
status.
1. Pembagian penduduk menurut hukum
pada tahun 1848
a. Golongan Eropa
b. Golongan yang dipersamakan dengan golongan Eropa
c. Golongan Bumiputera
d. Golongan yang dipersamakan dengan
Bumiputera
2. Pembagian pada tahun 1920
a. Golongan Eropa
b. Golongan Bumiputera
c. Golongan Timur Asing
3. Pembagian penduduk menurut keturunan
atau status social.
a. Golongan bangsawan (Aristokrat) dan
pemimpin adat.
b. Pemimpin agama (ulama)
c. Rakyat biasa/jelata (Ary H, Gunawan,
23)
C.
Dinamika
dan Pengaruh Masa Politik Etis Pada Pendidikan
Tindakan-tindakan yang berakibat jauh dalam perkembangan
masyarakat Indonesia adalah system yang pendidikan yang diciptakan
Belanda. System pendidikan ini mengakibatkan terciptanya suatu golongan baru
dalam masyarakat, yang oleh seorang ahli sejarah dinamakan grup fungsional.
Istilah ini tidaklah sama dengan golongan fungsional dalam system politik di
Indonesia sekarang. Grup itu hanyalah suatu golongan yang terampil secara barat
karena dididik dalam sekolah-sekolah menengah kejuruan dan menjalankan
fungsi-fungsi baru yang diciptakan pada awal abad ke-20. Fungsi-fungsi baru
yang dimaksud adalah fungsi sebagai pegawai negeri dalam kedinasan-kedinasan
(seperti pendidikan, kesehatan bank kredit, kehutanan, dll) yang diciptakan
untuk mengusahakan peningkatan kemakmuran penduduk.
Pada tahun 1882 sudah mulai diadakan sistematisasi dalam
pendidikan yang berbeda-beda dari satu pulau ke pulau yang lainya. Pada waktu
itu semua sekolah dasar dikelompokan menjadi dua macam saja. Sekolah dasar yang
pertama dinamakan Eerste School (sekolah angkatan satu). Sekolah ini hanya
menampung murid dari golongan priyayi dan hanya didirikan di ibukota
karesidenan. Lama pendidikanya lima tahun, kurikulum meliputi membaca, menulis,
berhitung, ilmu bumi, sejarah, menggambar, ilmu alam, dan ilmu ukur tanah.
Guru-gurunya diambil dari lulusan sekolah guru yang telah didirikan sebelumnya.
Pada mulanya bahasa pengantarnya bahasa daerah, tetapi pada tahun 1897 diubah
menjadi bahasa Belanda dan oleh karena itu lama pendidikan ditingkatkan menjadi
enam tahun. Dengan adanya sekolah angka satu ini, semua sekolah raja yang
didirikan sejak 1879 dihapus, kecuali yang di Magelang yang dijadikan sekolah
kejaksaan.
Jenis sekolah yang didirikan pada tahun 1892 adalah Twede
School (sekolah angka dua). Sistem sekolah ini ditujukan kepada rakyat pada
umumnya di daerah pedesaan. Lama pendidikan hanya tiga tahun, dan
kurikulumnya hanya menulis, membaca dan berhitung. Bahasa pengantarnya adalah
bahasa daerah setempat atau bila tidak bahasa daerah, maka bahasa Melayu.
Tatkala politik etis dilancarkan timbul dua pendapat tentang
cara meningkatkan sistem pendidikan dasar untuk penduduk. Pendapat pertama
menyatakan bahwa sekolah angka dua tidak tepat dan harus digantikan dengan
sekolah desa yang disesuaikan dengan situasi pedesaan. Pandangan yang lainya
menyatakan bahwa sistem yang sudah ada adalah sudah baik, hanya jumlahnya yang
perlu ditambah. Pada akhirnya pandangan pertamalah yang dilaksanakan karena
berasal dari Gubernur Jenderal Van Heutz.
Sistem sekolah desa tersebut mulai dibangun pada tahun 1907.
Sekolah ini didirikan di daerah pedesaan dan masyrakata desa diberi tanggung
jawab dalam pembinaanya berupa pendirian dan dan pemeliharaan gedung
sekolahnya. Pembinaanya tidak pada departemen pendidikan tetapi pada departemen
dalam negeri (sampai tahun 1918). Lama sekolah dan kurikulum masih sama dengan sekolah
angka dua, tetapi lebih disesuaikan pada lingkunganya. Sekolah angka dua masih
dilaksanakan meskipun berangsur-angsur menghilang sampai dihapuskanya pada
tahun 1929 (karena krisis ekonomi). Sekolah angka satupun belum mengalami
perubahan yang berarti.
Pada tahun 1914 terjadi tiga hal yang sangat penting dalam
system pendidikan rendah. Pertama pada tahun itu sekolah angka satu yang sejak
tahun 1907 menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya diubah
menjadi Hollands Inlandse School (HIS) yang berbahasa Belanda. Sekolah ini
didrikan di ibu kota daerah dan dipergunakan oleh anak-anak priyayi tetapi
tidak tertutup bagi golongan yang lainya. Kedua, pada tahun itu didirikan
sekolah lanjutan yang dinamakan Meer Uitgebreid Lajer Onderwijs (MULO), untuk
lulusan sekolah angka satu. Lama pendidikanya tiga tahun dan bahasa Belanda
dipakai sebagai bahasa pengantar, tatapi kurikulumnya sama dengan HIS
pendidikan tingkat lanjutan atas bagi penduduk kepulauan Indonesia adalah
Algemeen Middelbare School, yang menerima lulusan MULO. AMS pertama didirikan
di Yogya dengan kurikulum B (Pasti Alam), kemudian di Bandung dengan kurikulum
A 1 (satra barat), dan A2 di Surabaya (sastra timur).
Selain itu pemerintahan hindia belanda yang beraliran etis
itu pula mendirikan suatu sekolah kedokteran tingkat menengah pada tahun 1902
dengan nama School Tot Opleiding van Inlandse Artsen (STOVIA). Sekolah ini
sebenarnya bukan ciptaan baru, tetapi merupakan penyempurnaan dari sistem
pendidikan yang dimulai 1851 dengan nama sekolah dokter Jawa. Tujuanya adalah
menciptakan tenaga-tenaga medis di pelbagai daerah, dan melaksanakanya di rumah
sakit tentara Batavia. Lama pendidikanya mula-mula hanya dua tahun, tetapi pada
tahun 1875 telah meningkat sampai lima tahun. Dengan ditingkatkanya system
pendidikanya ini menjadi STOVIA pada tahun 1902, lulusanya pun di anggap
sebagai dokter dengan gelar Indlandse Art.
Pendidikan STOVIA mula-mula diberikan dalam bahasa melayu
dan murid-murid diharuskan menggunakan pakaian daerah. Kemudian bahasa Belanda
digunakan sebagi bahasa pengantar, sehingga murid-murid harus mengikuti kursus
bahasa selama satu tahun. Dengan demikian lama pendidikanya menjadi tujuh
tahun. Calon-calonya berasal dari sekolah angka satu, yaitu golongan priyayi,
karena waktu itu HIS belum ada. Murid-murid inilah yang mendirikan Budi Utomo
pada tahun 1908 dan organisasi-organisasi pemuda lainya, seperti Jong
Sumateranen Bond, Jong Ambon dan lain-lain.
Pada tahun 1914 STOVIA ditingkatkan lagi karena
calon-calonya harus diambil dari lulusan MULO. Pada tahun itu pula di Surabaya
didirikan sekolah sejenis dengan nama Nederlandse Indische Artsen School (NIAS)
lulusan STOVIA dan NIAS sejak itu memakai gelar Inndische Art. Baru pada tahun
1927 pemerintah mendidrikan sekolah tinggi kedokteran (guneeskundige
Hogeschool), GH yang mengambil lulusan HBS dan AMS. Lulusanya memakai
gelar Art, dan disamakan dengan universitas negeri Belanda.
Sekolah kejuruan lainya yang penting sekolah pegawai pamong
praja. Mula-mula tenaga pamong praja dihasilkan di Hoofdenschool, yang pada
tahun 1892 dihapus, kecuali di Magelang. Sekolah ini dikenal dengan nama
Opleiding School voor Inlandse Ambtenaren (OSVIA). Lama pendidikan lima tahun.
Bahasa pengantarnya bahasa Belanda. Sekolah ini tidak saja terbuka bagi anak-anak
golongan priyayi seperti Hoofdenschool, tetapi terbuka juga bagi anak-anak
golongan biasa yang ingin memasuki dinans pamong praja. Sekalipun menggunakan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, sekolah ini masih tergolong sekolah
dasar. Sekolah semacam ini kemudian didirikan juga di bandung, Madiun,
magelang, Probolinggo, Blitar, Makassar dan Serang. Baru pada tahun 1929
sekolah sekolah ini ditingkatkan menjadi sejajar dengan sekolah menengah yang
dinamkan dengan MOSVIA.
Untuk tenaga-tenaga kejaksaan dan pengadilan, pada tahun
1909 didirikan Rechtschool, yang juga menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar. Pada tahun 1924, ketika lulusan sekolah menengah sudah mulai banyak,
didirikan sekolah hukum tingkat tinggi dengan nama Recht Hogeschool (RH).
Sekolah ini menghasilkan hakim-hakim dan jaksa-jaksa yang lulusanya menggunakan
gelar Mr. (singkatan dari Meester de Rechten) yang juga digunakan oleh
lulusan-lusan di universitas di belanda.
Sekolah pertanian sudah didirikan pada sebelum abad ke-20 tetapi
hanya untuk mencetak tenaga-tenaga rendahan. Pada tahun 1876 pernah didirikan
Landbouw School (sekolah pertanian) yang juga dimasuki oleh putra-putra
golongan priyayi. Tetapi sekolah ini ditutup pada tahun 1884. Baru pada tahun
1903 didirikan lagi sebuah Landbouw School di Bogor dengan taraf pendidikan
tingkat rendah. Pada tahun 1911 sekolah ini ditingkatkan menjadi sekolah
menengah, sementara itu sekolah tinggi pertanian belum ada.
Pendidikan pertukangan sudah mulai dicoba dari masa kemasa
pada abad ke-19. Sebagian sekolah sekolah itu tidak berlangsung lama. Dalam
awal abad ke-20 pendirian sekolah ini dicoba lagi dan kali ini lebih
berhasil. Sebuah sekolah teknik tingkat tinggi baru didirikan pada tahun 1920,
dan inipun oleh golongan swasta. Pada tahun 1924 sekolah yang bernama
Teckhnische Hogeschool (TH) itu diambil alih oleh pemerintah. Lulusanya berhak
bergelar Insinyur (Ir) yang juga digunakan oleh lulusan-lulusan sekolah tinggi
di Negeri Belanda (Ensiklopedi Nasional Indonesia)
Tetapi celakanya ialah mereka yang putus sekolah
dipengajaran lanjutan (MULO dan menengah) uuga tetap tinggi
jumlahnya, baik karena sebab-sebab finansial maupun persyaratan yang berat,
yang memang didasarkan pada norma-norma tradisional Belanda yang harus dipenuhi
para murid. Sementar itu ketika pada tahun 1920 dan tahun-tahun berikutnya
dibangun pengajaran tinggi (sekolah tinggi teknik tahun 1920, sekolah tinggi
hokum tahun 1924, sekolah tinggi kedokteran tahun 1927, fakultas sastra
tahun1940), maka jumlah mahasiswa Indonesia terutama pada tahun-tahun
permulaan, tidaklah besar. Tidak heran apabila orang memperhitungkan bahwa pada
setiap seratus murid kelas satu dari sekolah-sekolah rendah barat, setelah
akhir masa pendidikan yang resmi (tujuh tahun pengajaran rendah, enam tahun
pengajaran menengah) hanya dua oaring saja yang siap memasuki pengajaran
tinggi. Sisanya dengan atau tanpa ijazah lembaga pengajaran rendah, sementara
itu putus sekolah (I. J. Brugmans, 187)
Lulusan lulusan sekolah inilah yang memainkan peranan penting
dalam pergerkan nasional. Mula-mula yang tampil adalah murid-murid sekolah
menengah (sekolah-sekolah kejuruan seperti STOVIA, OSVIA, dan sekolah
pertanian). Berangsur-angsur mahasiswa sekolah tingggipun mengambil bagian.
Lulusan-lulusan sekolah tinggi dan menengah itulah yang merupakan pendorong
utama perkembangan bangsa Indonesia dan pergerakan emansispasi kemerdekaanya.
Walaupun begitu, hasil politik etis itupun masih jauh dari
pa yang diharapkan oleh penduduk pribumi. Sungguh suatu ironi bahwa kemajuan
pendidikan yang digembor-gemborkan Belanda mengjasilkan 90 % penduduk Indonesia
yang masih buta huruf.
Pelaksanaan politik etis sesungguhnya tidak sepi dari
kepentingan-kepentingan kaum modal, karena sebagian besar sumber keuangan
daerah berasal dari onderneming-onderneming swasta. Onderneming menjadi raja
tak bermahkota di daerah-daerah. Pendidikanpun disesuakan dengan kebutuhan
penjajah akan kebutuhan tenaga-tenaga pegawai yang sedikit cakap.
Politik etis itu tidak lain dari bentuk imperialisme kebudayaan.
Program edukasinya tak lain ialah pelaksanaan dari politik “asosiasi” seperti
deterangkan sendiri dalam Twede Kamer pada tahun 1912 oleh Van Deventer yang
natara lain menyatakan: “humanisme Barat” (maksudnya politik etis) telah
memberi keuntungan besar, yaitu memungkinkan adanya asosiasi antara kebudayaan
timur dan barat.
Politik asosiasi berarti politik penjajahan untuk
menghilangkan jurang perbedaan antara penjajah dan rakyat jajahan dengan cara
melenyapkan kebudayaan asli tanah jajahan untuk diganti dengan kebudayaan
penjajah (Ensiklopedi Nasional Indonesia)
Ada 5 ciri pendidikan pada masa kolonial Belanda, yaitu :
1. Sistem Dualisme
Dalam
sistem ini diadakan garis pemisah antara sistem pendidikan untuk golongan Eropa
dan sistem pendidikan untuk golongan bumi putera.
2. Sistem Korkondansi
Sistem ini
berarti bahwa pendidikan di daerah penjajah di arahkan atau disesuaikan dengan
pendidikan yang terdapat di negeri Belanda.
3. Sentralisasi
Kebijakan
pendidikan di zaman kolonial diurus oleh sebuah Departemen Pengajaran.
4. Menghambat Gerakan Nasional
Sistem
pendidikan pada masa itu sangat selektif. Masyarakat bumi putera tidak dapat
memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih tinggi.
5. Perguruan swasta yang militant
Salah satu
sekolah swasta yang sangat gigih menetang kekuasaan kolonial ialah
sekolah-sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Perkembangan pendidikan di Indonesia mendapati tahapan
barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900, Van Deventer yang
menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan politik etis
(Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld” (hutang
kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip atau
arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa ini
adalah: (1) Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi.
Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan; (2) Pendidikan
rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Sistem pendidikan pada
masa ini belum lepas dari pola stratifikasi sosial yang telah ada, dan beroleh
pengesahan legal sejak tahun 1848 dari penguasa kolonial.
Dari sekolah – sekolah ini tidak sedikit para anak – anak
muda yang memiliki pengetahuan lebih mulai bertekad untuk membuat sebuah
organisasi – organisai yang arahnya memunculkan ide – ide untuk membuat Indonesia
merdeka, contohnya adalah banyak lulusan dari HIS, membuat organisasi Budi
Utomo, Jong Ambon, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun. 1990. Ensiklopedi
Nasional Indonesia Jilid 7, (Politik Etis). Jakarta: PT. Cipta Adi
Pusaka.
Gunawan, H
Ary. . Kebijakan-Kebijakan
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Brugman,
I.J. . Politik Pengajaran….
Http://
Wikipedia.or.wiki/Politik-etis . (diunduh 19 September 2013, 10:43:15 WIB).
0 komentar:
Posting Komentar